BAB 11
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI)
1.
Pengertian
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Kekayaan Intelektual atau
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata
yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges
Eigentum, dalam bahasa Jermannya[1]. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada
tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang
dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam
pengertian isinya.[2] Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak,
Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki,
dialihkan, dibeli, maupun dijual.
2.
Prinsip-prinsip
Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip hak kekayaan
intelektual antara lain sebagai berikut :
a. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural
Justice)
Hukum
memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak
dalam rangka kepentingan yang disebut hak.
b. Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Nilai
ekonomi pada HAKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta
mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk
pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptanya
c. Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan
prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia
diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan
ciptaan baru.
d. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan
prinsip ini, sistem HAKI memberikan perlindungan kepada pensipta tidak hanya
untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja
melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat.
3.
Klasifikasi
Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO, HAKI dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Hak Cipta ( copyrights)
UU No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual
di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang
khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan
dalam wujud tetap.
2. Hak Kekayaan Industri ( industrial
property rights )
Hak yang mengatur segala sesuatu
tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak
kekayaan industri ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi
Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di
amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :
a. Hak paten
b. Merk dagang
c. Hak desain industri
d. Hak desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit)
e. Rahasia dagang
f. Varietas tanaman
4.
Dasar
Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dasar hukum hak kekayaan
intelektual di indonesia diatur dalam undang-undang antara lain sebagai berikut
:
a. UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
b. UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
c. UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
d. UU Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
e. UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri
f. UU Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu
g. UU Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Varietas
Tanaman
5.
Hak
Cipta
Hak cipta adalah hak bagi
pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.
Hak
Paten
Hak paten adalah hak yang
diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum,
suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah
dengan teknik baru.
7.
Hak
Merk
Hak merk adalah hak untuk
mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut
dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu.hak yang
membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa
berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya
yang unik.
8.
Desain
Industri
Desain Industri berguna
untuk berbagai produk industri dan kerajinan antara lain bisa peralatan rumah
tangga, peralatan listrik, peralatan elektronik, jam tangan (aksesoris) dan
lain sebagainya. Dalam desain industri membantu untuk mengelola berbagai macam
perlatan serta memudahkan berbagai macam cara.
9.
Rahasia
Dagang
Rahasia dagang merupakan
rahasia tersendiri bagi para pengusaha ataupun perusahaan dalam menjalankan
bisnisnya sendiri. Didalam perusahan ataupun pengusaha rahasia dagang merupakan
hal terpenting yang tidak boleh orang lain tau tentang ini bisa berupa produk
yang mereka gunakan ataupun macam jenis lainnya.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/komsumen
http://nuryana26.wordpress.com/2012/05/15/hal-kekayaan-inteletual-haki/
http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/09/klasifikasi-hak-kekayaan-intelektual/
BAB I2
Perlindungan Konsumen
1.
Pengertian
Konsumen
Konsumen yaitu beberapa
orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka
gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak
arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan
dan kemampuan konsumen.
2.
Asas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen
di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias
memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya
asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan
yang benar-benar kuat.
A. Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan
Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau
usaha secara keseluruhan.
Asas ini dimaksudkan agar
partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
Asas ini dimaksudkan agar
baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan
Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai
berikut.
- Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.
Hak
Dan Kewajiban Konsumen
A. Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa,
konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak
konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis
dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan
konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
- Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.
- Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
- Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
- Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
- Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
- Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4.
Hak
Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah :
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku
usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah :
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
5.
Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi (Pasal 8 )
2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. Larangan bagi pelaku usaha periklanan
(Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku
usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut;
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di
pasang/dibuat;
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur
oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3)
juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan
keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila
kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
Ø Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh)
lagi.
Ø Cacat: kekurangan yang
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Ø Bekas: sudah pernah dipakai.
Ø Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik
lagi)
Ketentuan terakhir dari
pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran.
6.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor
8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur
tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan
pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand
diderita konsumen, apabila :
- Barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan;
- Cacat barang timbul pada kemudian hari;
- Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang;
- Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
- Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun
sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
7.
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha
Masyarakat boleh merasa lega
dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan
pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha
masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha,
yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian
barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam
nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini
peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman
klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara
penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang
tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku
usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
- Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu
7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3),
20, 25
Referensi :
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
BAB 13
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
1.
Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu
bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu
harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai
"monopolis".
Sebagai penentu harga
(price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan
cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang
diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya.
Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan
harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian
atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk
tersebut.
2.
Azas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia
dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU)
persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk
memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang
cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari
UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan
konsumen.
3.
Kegiatan Yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan
yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini
tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian,
dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian
yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang
dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan
yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana
hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa
pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal
19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang
dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku
usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
(pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat
kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi
dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau
pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai
direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan
dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki
saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha
dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa
perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun
yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus
menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
4.
Perjanjian Yang Dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan
produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau
seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi
pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar;
d.Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau
lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai
produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau
jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan
atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak
luar negeri
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
5.
Hal-Hal Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal Yang Dikecualikan
Dari Undang-Undang Anti Monopoli
Perjanjian yang dikecualikan
a. Hak atas kekayaan
intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cipta
b. Waralaba
c. Standar teknis produk
barang dan atau jasa
d. Keagenan yang isinya
tidak memuat ketentuan untuk memasok
e. Kerjasama pnelitian untuk
peningkatan atau perbaikan standar
f. Perjanjian internasional
Perbuatan yang dikecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha
yang tergplong dalam pelaku usaha
b. Kegiatan usaha koperasi
uang khusus melayani anggotanya
Pebuatan dan atau perjanjian yang
diperkecualikan
a. Pebuatan dan atau
perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan UU
b. Pebuatan dan atau
perjanjian yang bertujuan untuk ekspor
6. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk
mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
Perjanjian yang dilarang,
yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama
mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup,
oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan),
dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang,
yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan,
pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.
Posisi dominan, pelaku usaha
yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar,
menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
7.
Sanksi
Apabila importir tersebut
terbukti melakukan kartel atau kecurangan lain, maka akan dikenakan sanksi.
Sanksi tersebut dapat berupa denda dan atau sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Referensi :
http://tugaskuliah-adit.blogspot.com/2012/04/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html
http://www.neraca.co.id/harian/article/26507/KPPU.Investigasi.Kartel.Pengerek.Harga.Komoditas
BAB
14
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian
Sengketa
Sengketa adalah perilaku
pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.
2. Cara
- Cara Penyelesaian Sengketa
Sengketa dapat di selesaikan
dengan berbagai cara dintaranya :
- Negosiasi
- Mediasi
- Arbitrasi
- Konsiliasi
- Enquiry (Penyelidikan)
- Pengadilan
3. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu
bentuk pertemuan antara dua pihak, pihak kita dan pihaK lawan dimana kedua
belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik demi kepentingan kedua pihak.
4. Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.
5. Arbitrase
Arbitrase adalah kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan
6. Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Perbedaan antara
Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi ialah sebagai berikut :
- Perundingan ialah tindakan atau proses
menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima
- Arbitrase merupakan kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan
- Ligitasi adalah proses dimana seorang
individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan
penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan
Jadi perbandingan diantara
ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian pertikaian. Tahap
pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang
bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika kedua belah pihak
tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak
ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan
menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka mebutuhkan hukum atau pengadilan
untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
Referensi :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/
http://tugaskuliah-adit.blogspot.com/2012/04/penyelesaian-sengketa-ekonomi.html